24.8.08

Sawang

Cerpen Ragdi F Daye

PENCARI daun enau itu terkejut ketika melihat seorang laki-laki duduk melamun di atas batu karang yang berlumut. Laki-laki itu memakai celana jins biru pudar dan kaos abu-abu. Punggungnya sedikit membungkuk digayuti ransel hitam. Pencari daun enau itu sudah bertahun-tahun menjelajahi rimba Bukik Kapocong untuk mencari pucuk enau, daun pandan berduri, atau buah-buah damar. Dia sering bertemu dengan pemburu babi, pemikat burung, atau para pecinta alam. Namun, belakangan dia lebih sering sendirian di tengah hutan.

Diturunkannya ikatan daun enau dari bahunya. “Sendiri saja?”

Laki-laki itu sama terkejutnya. Dia mengangguk pendek.

“Mau berburu?”

Dia masih muda. Tatapan matanya begitu murung di bawah rambutnya yang menjuntai di kening. Dia mengangguk dingin seperti menginginkan percakapan itu lekas tuntas. Pencari daun enau kembali mengamati. Memperhatikan ransel hitamnya yang terlalu bersih untuk dibawa ke hutan. Arloji di tangan. Juga pakaiannya. Dia ingin bersikap acuh karena maksudnya datang ke hutan itu cuma untuk mencari pucuk daun enau yang nantinya akan dia jemur di rumah lantas dijual ke pasar. Dia tak perlu mengurus orang asing yang sama sekali tak bersangkut paut dengannya. Pencari daun enau itu menyandang ikatan daun enau ke bahunya yang bungkuk. “Berhati-hatilah. Harimau memang tidak akan datang mengganggu, tetapi banyak ular berbisa dan pacet yang bisa menguras habis darahmu.”

Mata mereka bertemu. Sepasang mata muda yang luka dan sepasang mata tua yang letih.

Pencari daun enau itu merasa hatinya direjam kesedihan yang ganjil. Dia menemukan keputusasaan yang siap membunuh. Serta merta pikirannya membayangkan laki-laki muda itu berdiri di tubir jurang, lalu melemparkan diri ke runcing karang.

“Hati-hatilah!” Dia melanjutkan langkah ke bawah.

***

“Aku hanya ingin sendiri dan mati.” Ucap laki-laki muda itu setelah sosok si pencari daun enau hilang di balik semak. “Aku malah bersyukur bila ada harimau datang dan menerkamku. Mencabik-cabik tubuhku. Mengoyak-ngoyak badanku. Menghabisi sekerat hatiku!” Dia menatap nanar rerimbunan pohon-pohon yang tingginya puluhan meter.

Dari arah barat matahari memancarkan sinar kuning pucat.

Laki-laki itu sudah meninggalkan rumah sejak kemarin. Mulanya dia hanya ingin melarikan diri dari suasana rumah, dari urusan menyebar undangan, dari mimpi buruk, dari sumpah dan kejaran rasa bersalah, dari segala kecamuk di pikirannya. Dia mengunjungi teman-temannya, meminta waktu mereka untuk mendengarkan dia bicara. Tetapi tak ada seorang pun yang mau percaya bahwa kondisinya begitu buruk. Dia pun memutuskan pergi ke pinggir kota di pagi hari dengan angkutan umum, kemudian berjalan kaki ke pebukitan yang sering dia pandangi dari balkon.

Dia merasa sakit dan sangat tidak siap. Dia yakin, bila dia melanjutkan apa yang sudah dirancang untuknya, dia hanya akan menjadi pengkhianat. Dia tak akan pernah mencintai siapa pun. Dadanya sudah nyaris kosong. Hatinya cuma tinggal robekan-robekan yang tidak utuh.

Dia telah berjalan, dan terlalu jauh untuk kembali. Dia juga tak yakin semuanya akan seperti sedia kala bila dia kembali. Di pinggang bukit dia berdiri. Jauh di bawah kakinya samar-samar tampak kota dan laut, dan awan-awan, dan langit yang keruh. Angin menampar-nampar mukanya. Dihirupnya dengan risau. Dia telah mencucukkan sebilah pisau ke dada ibunya yang dulu semasa kecil pernah dia teguk sari kehidupan dari kedua susunya.

Semuanya telah berbeda. Dia bukan lagi seorang bocah manis yang selalu tertawa dengan hidung dan mata mengernyit.

Ayo, melompatlah!

Ayo, akhirilah!

Hatinya terasa diremas oleh gelap malam yang turun bersama dingin kabut. Haruskah dia melompat jatuh dan mati, atau berlari turun dan pulang? Dia sama sekali bukan seorang petualang, malah hanya seorang manusia rapuh yang cengeng.

Dikeluarkannya HP dari saku, mencoba terangi sekeliling tempat itu. Dia tak membawa korek api, lilin, apalagi senter. Kegundahan telah membuatnya benar-benar tolol. Tak ada sinyal. Dibukanya folder foto dan video. Disaksikannya gambar-gambar itu sehingga berbagai kenangan dan rasa menggenangi hatinya.

Ruang tamu. Komplek pemakaman. Jembatan penyeberangan. Dia sedang sendiri berlatar pantai. Ibu berkerudung hitam. Kartun. Kartun horor. Merpati-merpati di taman. Lantai kamar. Bibirnya. Sepasang tangan. Reuni hari raya. Dia sedang tidur bergelung. Mukanya dicoret-coret habis main kartu. Tubuhnya. Anjing tetangga yang galak. Dia sedang berteriak. Aaakhh...

Bahkan dia tak menyimpan gambar orang itu agak sepotong.

Lalu untuk siapa semuanya?

Demi menunda kematian ibunya?

Padahal dialah yang hidup.

Dialah yang akan menjalani.

Dia yang akan bahagia.

Atau sakit.

Dia diam. Kelengangan yang menggairahkan mengepungnya.

“Gus...!”

Telinganya mendengar suara yang halus.

“Gustav...!”

Dia menoleh ke sekeliling. Siapa yang telah memanggilnya? Apakah ada yang merasa kehilangan lalu mencarinya?

“Gustav!”

Dia terkejut.

Beberapa saat hanya menatap terpana.

Sosok itu melambai dan merentangkan tangan.

Dia berdiri girang. Mencampakkan ransel ke tanah. Berlari. Menghambur. Mendekap...

***

Burung-burung murai masih berkicau riang ketika pencari daun enau itu sampai di Bukik Kapocong. Dia sudah berusaha datang sepagi mungkin, tetapi tetap terlambat karena istrinya yang nyinyir minta dipetikkan buah kelapa untuk membuat gulai. Dia melangkah di jalan setapak yang penuh rumput liar dan ilalang. Pohon-pohon tinggi membuat hutan menjadi teduh. Akar-akar membelintang, kadang digelungi ular. Anggrek merpati berbunga butih menjuntai dari dahan-dahan kayu lapuk.

Dia tak menemukan si laki-laki muda di batu karang berlumut. Pencari daun enau menengadah ke langit. Dua ekor elang kurik berkulik-kulik. “Anak itu sedang gelap mata. Seharusnya tak kubiarkan dia sendirian.” Matanya melihat ransel hitam yang kemarin tersandang di punggung si pemuda tergeletak di bawah batu. Ditegakkannya badan. Di mana gerangan orang itu? Pencari daun enau menjengukkan kepala ke tubir tebing.

“Apakah...?”

Cepat-cepat dia menuruni tebing yang cukup curam. Dia berpegang pada akar-akar yang berjuntaian. Sandal jepitnya putus. Dia tinggalkan saja. Kakinya menginjak suatu benda yang bukan bagian dari hutan. Diambilnya. Sebuah HP yang telah pecah. Jantungnya berdegup. Dia bersiluncur.

Sosok itu dia temukan tergolek dengan kepala menyandar ke batu. Seperti sedang bermimpi dalam rengkuhan seseorang. Darah mengering dari kepalanya yang retak. Dua ekor pacet menempel di kaki dan tangannya. “Hei..! Hei!” Pencari daun enau meraba urat lehernya. Dingin mati. Dia terhenyak. Jurang itu terasa senyap.

***

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Dia terkejut ketika seorang penyabit rumput telah berdiri di sampingnya dengan sebuah karung kumal yang gendut. Sebenarnya dia tak ingin bicara dengan siapa pun, tetapi bersikap diam akan membuat orang kian penasaran. “Tidak ada,” sahutnya acuh.

Penyabit rumput yang sudah agak tua itu memberinya tatapan penuh selidik. “Apa kau mau memancing?”

“Ya!”

“Hati-hatilah kalau memancing di Lubuk Karaku. Tempat itu agak jahat.” Laki-laki tua itu menyandang karung rumputnya dan berlalu.

Setelah tinggal sendiri, dia melanjutkan lamunannya. Diambilnya sepotong ranting, digurat-guratnya tanah liat merah.

“Apa aku salah karena mengawininya?!”

Sampai malam dia masih tercenung.

Itu dulu, sekitar duapuluh tahun lalu. Setelah sang istri yang masih punya ikatan darah dengannya, melahirkan anak kedua mereka yang juga lumpuh.

***

Setelah menjemput cangkul, sabun mandi, dan tiga helai kain kafan yang dibelinya dengan uang dari dompet si pemuda, dengan susah payah, si pencari daun enau membopong mayat si lelaki muda ke sungai kecil di dasar jurang. Ransel dan HP pemuda itu dibawanya juga. Di tanah datar tak jauh dari air terjun digalinya sebuah lubang. Batu-batu kecil mempersulitnya, tetapi dia terus bekerja keras membuat sebuah liang yang cukup pantas untuk jadi makam.

Kemudian dilepasnya pakaian mayat itu. Sebatang tubuh muda yang tinggal beku. Ada sebuah tato berbentuk ujung pedang menyungkupi pusarnya. Pencari daun enau memandikan dengan hati-hati. Membersihkan luka-lukanya. Menyiramkan air sabun dengan usapan kasih sayang yang pedih seperti tiap kali memandikan kedua orang anaknya yang pernah ingin dibunuhnya. Lalu jenazah itu disucikannya, dibungkusnya dengan kain kafan murah, diikatnya dengan akar kalimpanan, dishalatkannya.

Pakaian pemuda itu dimasukkannya ke dalam ransel beserta arloji, kalung, sebuah cincin perak, dompet, dan HP yang rusak. Ketika memasukkan jenazah ke dalam liang, entah kenapa ada air mata yang meluncur ke pipinya. Disekanya dengan punggung tangan.

“Kau ingin lari, seperti aku dulu. Maka, tenanglah di sini. Selama hidup aku akan menjagamu.”

Diletakkannya ransel di samping jenazah, juga sepasang sepatu bewarna coklat. Ditimbunnya pelan-pelan. Setelah selesai, ditanamnya sebatang kayu lansano di atas kepala pemuda itu yang kini ditutupi tanah.


Ilalangsenja|Padang, 2007

cerpen ini telah dimuat di Riau Pos, Minggu, 2 Maret 2008.

21.8.08

Hambatan karya sastera Nusantara

Pewarnaan budaya setempat dan jati diri perlu diusahakan

Oleh Nazmi Yaakub, Berita Harian, 21 Ogos 2008


CABARAN karya popular kepada pengarang sastera, jati diri penulis yang terkesan lewat karya dan kepentingan memaparkan warna budaya setempat dalam cerpen diberi perhatian pada Bengkel Program Penulisan Mastera: Cerpen (Bengkel Mastera) di Wisma Algar Mulya, Bogor, Indonesia, baru-baru ini.

Bengkel anjuran Majlis Sastera Asia Tenggara (Mastera) itu, mengesahkan kebanjiran karya popular tidak hanya melanda negara ini, bahkan turut merempuh dunia sastera negara jiran melalui industrialisasi budaya popular (pop) sehingga menimbulkan kerisauan di kalangan sasterawan dan budayawan mereka.


Program penulisan yang disertai 20 pengarang muda dari Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam dan Singapura itu, turut menekankan kepentingan pembentukan jati diri serta karektor pengarang dalam karya sehingga menampilkan gaya dan bahasa tersendiri, sekali gus membezakan mereka dengan penulis lain.

Dalam arus globalisasi yang turut merempuh dunia sastera Nusantara, pembimbing Bengkel Mastera, turut mengingatkan peserta untuk tidak meninggalkan warna budaya setempat, sebaliknya mengangkat keunikan dan keistimewaan budaya masing-masing dalam karya.

Pensyarah Universiti Negeri Surabaya (UNESA), Prof Dr Budi Darma, berkata proses industrialisasi yang memasuki dunia sastera termasuk Indonesia membentuk tren bacaan yang menyebabkan sesuatu judul buku dan novel laris di pasaran, tetapi mempunyai jangka hayat yang pendek sehingga ada yang menjangkau dua minggu saja.

“Dalam pertemuan kami dan penerbit, mereka menceritakan ada buku laku dalam masa dua minggu sehingga penerbit terpaksa mencipta tren baru bagi memaksa pembaca membeli buku baru. Di Indonesia, ada orang yang membeli buku, tetapi membiarkannya sehingga dipinjam orang dan kemudian membeli lagi sehingga produksi buku terus berjalan,” jelasnya.

Kesannya, penerbit besar biasanya meletakkan buku di kedai mereka tidak lebih daripada tempoh sebulan dan sekiranya judul itu tidak laku, ia akan dihantar ke kedai buku yang lebih kecil sehingga akhirnya dijual pada harga terlalu murah.

“Bagaimanapun, senario industrialisasi sastera yang tidak wajar menyebabkan semangat kita padam dan surut, sebaliknya kita perlu menganggap bahawa menulis adalah perbuatan mulia dan menjadi kewajipan, sekali gus ada panggilan dalam hati untuk terus menulis.

“Walau apa pun yang terjadi, kemampuan menulis yang diberikan dari atas pasti akan bermanfaat, bukan hanya pada diri dan keluarga, bahkan kepada masyarakat umum,” katanya.

Mengenai persepsi umum terhadap kualiti dan kuantiti karya, Editor Majalah Horison, Joni Ariadinata, berkeyakinan bahawa tanggapan masyarakat yang menganggap buku terjual sebagai terlaris di pasaran adalah karya bermutu adalah persepsi silap yang perlu diperbetulkan.

“Cara karya itu berjaya dipasarkan di dalam dan luar negara termasuk mengangkatnya kepada drama dan filem yang menjadi sebahagian aktiviti penerbit sebenarnya adalah urusan perniagaan. Banyak karya yang meledak di pasaran seperti Catatan Si Boy, Kabus Sutra Ungu dan Lupus yang dianggap luar biasa serta mencatat sejarah, tetapi tidak ke mana akhirnya,” katanya.

Pensyarah Universiti Brunei Darussalam, Awang Mohd Zefri Ariff Mohd Md Zain Ariff, melapah aspek pengalaman hidup pengarang yang didakwa akan membantu pembentukan jati diri dan karektor penulis dalam karya dengan kemasukan kepelbagaian ilmu baru dalam proses kehidupannya.

“Proses kematangan diri bukan saja berlaku pada pemikiran, bahkan lewat emosi pengarang sehingga setiap orang akan mengalami krisis meletakkan nilai karektor dan wajah sebagai penulis dalam karya. Oleh kerana ada penulis tidak hanya menulis dalam genre tertentu, kita dapati setiap genre ada cara berbahasa, berkomunikasi dan bercerita berbeza,” jelasnya.

Justeru, proses kehidupan pengarang berlaku dalam lingkungan untuk mengembalikan diri kepada tanggungjawab dalam menunaikan amanah yang diputuskan dari langit khususnya dalam menyalurkan pemikiran mereka dengan menggunakan keistimewaan, kebolehan dan ilmu mengarang.

“Dengan menerokai wilayah penulisan, kita akan meninggalkan karektor peribadi dalam karya secara berperingkat sehingga apabila kita meninggal dunia, karya kita akan tetap berbicara dan pembaca akan dapat mengenali karektor serta watak pengarang,” katanya.

Bengkel Mastera yang dikendalikan Pusat Bahasa dengan kerjasama Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), DBP Brunei Darussalam dan Majlis Bahasa Melayu Singapura turut memberi penekanan kepada kepentingan mengangkat warna dan citra budaya tempatan kerana rantau Nusantara kaya dengan kepelbagaian etnik yang mempunyai tradisi tersendiri.

Pada masa sama, keistimewaan warna setempat dalam karya pula perlu ditangani dengan cermat kerana pengarang sewajarnya melakukan rujukan serta mendalami budaya mereka khususnya yang tidak lagi diamalkan seperti langkah pengarang Bali, Oka Rusmini dalam menghasilkan novel, Tarian Bumi.

Antara pembimbing yang turut terbabit ialah pengasas Lingkar Pena, Helvy Tiana Rosa; novelis tanah air, Mohammad Ghazali Abdul Rashid; Pensyarah Universiti Teknologi Nanyang, Yazid Hussein dan Oka, selain peserta turut berpeluang mengikuti ceramah pengarang realisme magis, S Danarto serta sasterawan serba boleh, Putu Wijaya.

19.8.08

Cerita Nineng Tentang Batu

Cerpen Anton Bae

UDARA sembab. Muncrat. Sinar matahari menyerbu mereka yang duduk di pinggir Sungai Lematang sampai gerah berkeringat. Tetapi tetap saja, mereka - laki-laki dan perempuan-perempuan yang berada di pinggir Sungai Lematang itu, terus-menerus mengayunkan tangannya, menghancurkan batu-batu di hadapannya dengan sebuah godam. Bila godam dan batu-batu itu bertabrakan, maka terdengarlah bunyi; Kletak! Kletak! Kletak! Kletak! Dan batu-batu itu pecah, seirama dengan denyut jantung kita. Sementara bunyi yang terkadang serentak dan terkadang kacau balau itu perlahan masuk ke sungai, melompat ke pemukiman penduduk, lalu bucar ke segala arah.

Saat-saat seperti itu selalu diwarnai dengan teriakan anak-anak sungai yang berenang dan berlarian mengelilingi truk-truk yang sedang nongkrong. Kebun-kebun yang sekilas tampak seperti hutan, yang menjadi poros aliran Sungai Lematang, akan memantulkan suara batu yang pecah. Angin pun mengiring enceng gondok dan ghepahan kayu mengikuti arus sungai, seperti seorang gembala yang menggiring kerbau-kerbaunya masuk ke dalam kandang.

Tetapi tetap saja, mereka - para laki-laki dan perempuan-perempuan itu, terus-menerus mengayunkan tangannya, menghancurkan batu-batu di hadapannya dengan sebuah godam. Bila godam dan batu-batu itu bertabrakan, maka berekor-ekor asase akan beterbangan di atas pohon-pohon kelapa, mungkin karena cemas mendengar bunyi yang menggema. Ada pula sebagian dari asase itu yang melompat ke bungin, dan sebagian lagi melompat ke siring yang penuh dengan kotoran biri-biri.

Aku duduk jongkok di depan Pak Mustarif, tukang batu yang bertubuh kerempeng itu. Dia masih sibuk dengan pekerjaanya. Sesekali kulihat tangannya yang kekar melempar butiran batu yang sudah pecah ke sebuah tumpukan batu. Batu yang bertumpuk itu tersusun berkubik-kubik, sesuai ukuran dan jenisnya. Di sini, pemecah batu sudah menjadi salah satu mata pencaharian penduduk. Tukang bangunan percaya bahwa batu yang telah dipecahkan lebih kuat untuk membuat sebuah bangunan.

Kletak! Kletak! Kletak! Kletak!

"Ada yang mengatakan bahwa batu dan koral-koral di sini seperti mahluk hidup yang dapat beranak." Pak Mustarif memandangku. Sepertinya, sedari tadi dia ingin sekali mengeluarkan kata-kata itu.

"Maksud bapak?"

Dia tiba-tiba tertawa. Wajahnya yang bulat seperti roda truk itu, melompat-lompat bersama tawanya. "Cukala kaba (cobalah kau) menyelam ke sungai itu dan mengambil batu di dalamnya. Kele kaba asekah (nanti kau rasakan), ketika kaba ambil batu itu, akan ada batu lagi yang tersembunyi di balik batu sebelumnya. Dan bila kaba mengambil batu yang tersembunyi itu, maka ada lagi batu di baliknya. Seperti itulah keadaannya terus-menerus."

Aku meremas kopi di tanganku yang dibungkus plastik hitam. "Mungkin Bapak benar, tapi aku tidak heran. Sebab tempat ini memang nyaman untuk tempat tinggal para batu. Ya, karena di sini ada Bukit Barisan, Sungai Lematang, Gunung Telunjuk dan hutan-hutan yang membentuknya."

Pak Mustarif kembali memukul batu di hadapannya. "Bagaimana dengan negeri kaba?" Aku tersentak. "Apakah batu-batu di negeri kaba sama seperti batu-batu di negeri kami?"
"Untuk apa Bapak menanyakan itu?"

Batu yang ia pukul sempat memercikkan api. "Cuma ingin tahu, apa yang membedakan batu kalian dan batu di negeri kami."

Aku menghirup udara, sambil sesekali memperhatikan jembatan gantung yang tidak begitu jauh dari tempat kami berada. Beberapa truk yang mengangkat batu-batu itu sempat menghalangi tiga orang perempuan di pinggir jalan yang akan nyabun ke tepi sungai.

"Negeri yang berkembang dan maju menganggap batu sama seperti agama. Seperti juga negeri kami, Pak. Setiap hari semua orang disibukkan dengan urusan yang ujung-ujungnya berakhir pada batu. Mereka mengumpulkannya, mencarinya, meramunya karena batu-batu itu bukan hanya sebagai bahan bangunan yang dapat membentuk sebuah bangunan, tetapi juga merupakan simbol peradaban. Peradaban yang besar adalah peradaban yang bisa meramu batu-batu."

"Kalian terlalu berlebihan!" Pak Mustarif kembali melemparkan batu yang telah ia pecahkan. "Batu tetaplah batu. Apapun jadinya, batu hanya alat pemuas manusia."

"Mungkin saja Bapak benar. Tetapi kami menganggap batu adalah benda yang memiliki nilai. Oleh karena itu negeri kami banyak terdapat bangunan-bangunan yang tinggi menjulang dengan beragam bentuk. Sebab itulah kenapa negeri kami kaya dengan perhiasan-perhiasan dari batu. Dan aku heran, kenapa negeri Bapak yang melahirkan banyak batu, malah batu terkesan seperti simbol kemiskinan."

"Jangan kaba kira ketika aku mengatakan bahwa batu adalah alat pemuas, langsung kaba katakan kami menganggap batu tidak memiliki nilai. Kaba kira untuk apa aku bekerja sebagai penutus batu? Aku lebih menghargai batu daripada kalian yang mengganggap batu adalah simbol peradaban, atau mungkin simbol kekayaan. Dan kaba perlu tahu, Tuhanlah yang memberikan kemiskinan dan keindahan itu, dan Tuhan pula yang lebih baik menilainya."
Kami saling berpandangan. Nafasku sempat berdegup ketika mendengar ucapan lelaki tua yang bertangan kekar itu.

"Aku tidak bermaksud untuk menyinggung Bapak dan negeri Bapak. Hanya saja aku heran, negeri Bapak yang peradabannya lebih tua dan memiliki fakta sejarah yang jelas, malah kelihatan terbelakang."

Pak Mustarif menggelengkan lehernya seakan menahan kesal. "Kaba masih terlalu muda untuk menjelaskan tentang peradaban dan nilai-nilai. Lebih baik kaba sering berada di atas dam itu, dan merenungkan kenapa sungai dan batu-batu itu semakin dalam!"

Pak Mustarif berjalan menjauhiku. Dia mendekati truk-truk kuning yang tidak begitu jauh dari hadapan kami. Bajunya masih tertinggal di pondok di sampingku. Kulihat tubuhnya yang hitam legam, yang sering ditimpa matahari itu, seakan menutupi ciri khas negerinya yang rata-rata berkulit putih.

Terus saja dia berjalan dan mendekati salah seorang lelaki yang sedang beghunggok di bawah pohon. Dia menunjuk tumpukan batu yang berada di sampingku dengan tangannya yang memegang godam. Dia sedang bertransaksi. Lelaki yang diajaknya bicara adalah seorang toke. Aku mengenalnya. Dia sering berjalan dari negeri satu ke negeri lainnya. Bila dia dan anak buahnya datang ke negeri kami, mereka selalu menitipkan berkubik-kubik koral dan pasir di toko-toko bangunan. Terkadang anak buahnya juga sering menawarkan beberapa perhiasan batu; seperti batu satam dari Bangka-Belitung, blue sapir dari Baturaja, batu hijau dari Kalimantan, dan beberapa jenis batu di negeri ini, seperti batu mata kucing, kecubung, kembang bungur dan sulaiman. Banyak seniman-seniman yang menyulap batu-batu itu menjadi sebuah cincin, kalung, atau perhiasan, seperti halnya di Pasar Cinde Palembang. Dan ada juga yang menganggap setiap batu memiliki kekuatan alam, atau barangkali kekuatan supranatural.

Biasanya, bila bercerita tentang batu yang dijual Pak Mustarif, tergantung dari besar kecilnya batu atau koral. Koral yang dikumpulkan dan batu-batu yang telah dipecahkan dengan ukuran yang lebih kecil, akan lebih mahal dijual dibanding batu-batu yang lebih besar. Tingkat kerumitan mengumpulkan dan memecahkannya itulah yang menyebabkan batu yang ukuran lebih kecil akan lebih mahal. Harga batu-batu itu sekitar tujuh puluh ribu rupiah per kubik. Sementara batu yang lebih besar, harganya sekitar lima puluh ribu rupiah per kubik. Biasanya mereka, para toke-toke batu memborong belasan kubik dalam satu hari. Sementara Pak Mustarif sanggup mengumpulkan koral dan memecahkan batu-batu itu sekitar 2 sampai 3 kubik dalam satu minggu. Tetapi itu hanya Pak Mustarif. Dia sudah terlalu tua untuk melakukan pekerjaan yang keras itu. Kalau tidak dibantu oleh teman, istri, dan anak-anaknya, mungkin satu kubik pun dia tidak sanggup.

Ya, sebenarnya penjelasan itu pernah diceritakan Pak Mustarif kepadaku beberapa bulan yang lewat. Aku hanya mengutipnya. Sebagai salah satu orang yang cukup tua di dusun ini, dia termasuk orang yang terbuka dan suka bercerita. Aku suka mendengarnya bercerita. Pak Mustarif juga tertarik kepadaku, mungkin karena aku pendatang baru, maksudnya baru enam bulan, dia jadi tertarik untuk bertukar cerita dan pengalaman. Cukup menarik bagiku, seorang pendatang yang tinggal karena kebutuhan keluarga, menjadi Pegawai Negeri Sipil, dilempar ke negeri yang jauh dari tempat dilahirkan, dan bertemu dengan seorang tukang batu.

Memang, ada kalanya aku berpikir, jika ke negeri ini, ada banyak sifat dan pemikiran yang unik. Walaupun begitu, mereka memegang teguh sebuah tradisi dan kekeluargaan. Mereka seringkali menganggap orang satu kampung atau satu daerah adalah keluarga mereka, dan mereka tidak segan-segan mengatakan itu pada semua orang. Bila dikaji, mereka memang begitu dekat. Sampai-sampai mereka tidak ingin pergi jauh dari kedekatan itu, kecuali kepergian itu adalah untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.

Berbeda dengan negeri kami yang selalu mengagungkan sebuah peradaban. Kami selalu mengganggap bahwa sebuah keluarga harus pergi dan merantau ke mana-mana. Kami harus mencari jatidiri kami dengan menempuh perjalanan yang jauh. Itu yang membuatku terkadang berpikir, kenapa batu-batu yang ada di negeri kami, memiliki jarak yang jauh. Mereka tidak berdekatan atau bertumpuk-tumpuk seperti batu yang ada di negeri ini.

Aku tersentak. Mataku melesat mencari Pak Mustarif. Dia masih sibuk menawarkan batu yang telah ia pecahkan dengan toke koral tadi. Aku tidak mungkin akan mengganggu. Tetapi ada sesuatu yang kuingat. Dengan cepat aku berjalan ke dekat sungai. Mengikuti apa yang telah dikatakan Pak Mustarif sebelumnya, yaitu memandangi sungai dan batu-batu itu. Aku yakin, sifat keras kepala Pak Mustarif dan pemikirannya yang terkadang melompat-lompat itu selalu saja memberikan arti penting buatku.

Kopi yang diberikan istri Pak Mustarif masih kupegang. Kulihat sungai yang deras itu mengalir, menghempas butiran batu kali yang muncul di dalam sana. Tampak beberapa orang perempuan yang sedang nyabun sibuk bercerita di pinggir sungai.

Pak Mustarif menyentuh pundakku tiba-tiba. Aku menoleh. "Sedang memikirkan apa?" katanya tersenyum seolah transaksinya dengan toke koral tadi telah berhasil memuaskan hatinya.
"Melihat batu-batu itu aku berpikir tentang Tuhan."
"Hablumminallah?"
"Hablumminannas."

Pak Mustarif tertawa. Gigi dan cara dia tertawa lagi-lagi membuat aku tertarik. Mungkin karena giginya yang ompong bercampur dengan wajahnya yang bulat.

"Sepertinya kaba dilahirkan di negeri yang kaku, yang tidak bisa berkata lebih lantang seperti negeri kami." Dia masih melanjutkan tawanya.

Aku tersenyum. "Mungkin sungai itu yang membuatku kita berbeda kultur dan cara mengungkapkan bahasa."

Pak Mustarif menganggukkan kepala. "Mungkin." Kami sama-sama memandangi seorang lelaki yang sedang berjalan di dekat kami. Lelaki itu menyusuri batu-batu. Setelah itu dia duduk jongkok di atas batu kali di pinggir sungai sambil menutupi tubuhnya dengan kain sarung.

Tawa meledak. Kami berdua menyingkir ke sebelah kiri, menjauhi lelaki yang akan membuang kotorannya itu. Sekejap kotoran itu mengapung, mengalir mengikuti arus sungai, menuju ke dataran rendah.

"Sudah seribu tahun lebih, atau sezaman dengan Kerajaan Besemah, penutus batu menjadi mata pencaharian penduduk di negeri ini," Pak Mustarif berkata datar. Aku cukup terkejut mendengar penjelasannya yang tiba-tiba itu. Tetapi aku masih mendengarnya.

"Ninengku sering menjelaskan dalam bentuk guritan, sastra lama yang ada di negeri ini yang sempat dibakar pada masa Orde Baru dulu. Dimana dongeng dan sejenis cerita rakyat lainnya, seringkali dijadikan momok menjijikan para birokrasi. Aku ingat, nineng pernah bercerita tentang batu-batu yang ada pada masa Besemah dan Sriwijaya. Pada masa itu, batu berfungsi untuk membuat bangunan kerajaan dan simbol-simbol dewa dalam kepercayaan animisme-dinamisme. Kemudian dilanjutkan dengan agama Budha yang muncul di negeri ini yang disebarkan oleh bangsa Cina dan Kerajaan Sriwijaya, dimana saat itu Sriwijaya menjadi pusat pendidikkan agama Budha, dimana para pemuka Besemah sempat mempermasalahkan agama baru yang merusak kepercayaan nenek moyang kami. Ketika itu, tukang-tukang batu memiliki martabat yang cukup disegani, sama seperti halnya di Cina, India dan negeri-negeri di Timur Tengah. Ketika Kerajaan Sriwijaya musnah, ratusan tukang batu diutus untuk membangun kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Jawa. Setelah itu mereka kembali lagi. ‘…Oooemmm, jauh benang kite beghusek ke negeri jeme…. Kemane ayek kite? Tanjung Serai, Bukit Abung, Bangkaulu, Bukit Siguntang. Oooemmm, batu kite bejuhu bak hujan tebalik. Hujan tebalik batu kite…,’ nineng pernah mengumandangkan mantera itu di depanku. Mantera tentang kepergian para penutus batu."

"Seiring dengan zaman, pemecah batu beralih menjadi profesi yang penting tetapi menyulikan. Belanda datang. Kekuasaan feodalisme membutuhkan banyak tukang batu untuk membangun benteng, gereja, jembatan, dan bangunan-bangunan informasi dan pertahanan penting lainnya. Karena kekurangan tukang batu, banyak dari rakyat jelata yang dipaksakan untuk menjadi tukang batu, yang mana pada akhirnya tukang batu itu disebut kuli atau pekerja paksa. Beberapa sastrawan memunculkan guritan dan syair-syair tentang batu."

Pak Mustarif merenung sejenak. Kerutan-kerutan di keningnya seakan menyimpan semua cerita-cerita itu. selang beberapa detik, dia tiba-tiba melihat wajahku.

"Kaba tahu, alasan apa yang menyebabkan aku menjadi penutus batu?"

Aku menoleh, menatap wajahnya. "Mungkin karena alasan tadi. Melakukan sesuatu seperti yang dilakukan nenek moyang Bapak."

Dia sempat tertawa. "Tidak, aku tidak pernah berpikir panjang seperti itu. Bagiku, setiap kali aku menutus batu-batu itu, aku bisa bercerita tentang apapun, berimajinasi, dan memecahkan semua kekesalan. Menutus batu itu seolah mengajak kita masuk ke ruang mimpi, di mana setiap mimpi aku bisa melakukan apa saja.."

Pak Mustarif berhenti bicara. Dia melihat langit senja sudah mulai pudar. Orang-orang mulai pergi menjauhi Sungai Lematang yang berair keruh itu.

"Tadi aku sempat berpikir, Pak, ketika Bapak menyuruhku untuk melihat sungai dan batu-batu itu."
"Apa yang kaba pikirkan?"

"Bagiku, sungai adalah kehidupan. Batu adalah pengisi kehidupan. Sementara manusia adalah mahluk yang diciptakan untuk merasakan kedua-duanya. Barangkali, ketika Tuhan telah menipiskan batu dan aliran sungai itu, seperti itu juga manusia harus merasakan kenikmatannya semakin menipis."

Pak Mustarif tiba-tiba tertawa. Tawanya meledak. Tawa seorang tukang batu.

"Aku bingung, kenapa kaba selalu berbicara tentang kenikmatan? Seolah kenikmatan itu tidak pernah kaba rasakan!"

Aku berdetak. Kedua mataku lagi-lagi melayang mendengar ucapan Pak Mustarif. Tetapi ini berbeda. Aku tidak melihat lagi kehampaan dalam pikiranku. Tetapi, yang kulihat adalah air besar yang menggenangi jalan dan pertokoan di negeri kami. Orang-orang berlarian, menaikki kendaraan, dan ada pula yang berebutan mendaki sebuah bangunan. Lampu padam. Pohon-pohon terhempas, lalu mengalir mengikuti arus air dan terjepit di sela-sela rumah dan tiang listrik.

Hilang. Pemandangan itu berubah. Kudengar seorang bayi menangis di sebuah tenda. Beberapa ekor lalat berkeliaran tepat di atas kaki seorang lelaki. Asap membumbung ke udara, dan api membakar potongan-potongan kayu di tungku penanak nasi.

Hilang. Cahaya lampu melesat dari atas gedung. Buruh-buruh bangunan sibuk membuat jembatan layang di tengah kota. Mesin-mesin berat berderit.

Hilang. Orang-orang mengangkat spanduk. "Kenapa mesti ada pengusuran di kampung ini?"

Hilang. "Kenapa tidak tinggal di sini?"

"Terlalu berat bagiku. Makan dan tempat tinggal semakin hari semakin mahal.

Hilang. "Bila di sana, kita bisa membuat usaha bangunan. Dan kita bisa menjualnya."
"Tapi, kenapa kau mesti melamar PNS?"

"Membuat usaha itu aku teringat berita tadi malam. Tentang banjir di negeri kita."

Hilang. Pemandangan berubah. Aku melihat sesuatu yang bergerak. Entah, siapa. Seseorang memukul pundakku. Semua ingatan-ingatan itu berhamburan bagai kembang api yang diledakkan di atas langit, yang tersisa hanyalah kekosongan.

Orang yang memukul pundakku itu Pak Mustarif. Dia melihatku. Sesekali matanya memandangi sungai. Bunyi batu-batu pecah sudah hilang, tinggal air sungai yang mengalir menghempas butiran batu dan enceng gondong di dekatnya.

"Mari kita pulang," Pak Mustarif berkata datar.

Aku mengangkat kepala dan tubuhku. Kemudian kutatap lelaki tua yang berdiri di hadapanku dengan penuh tanda tanya.

Apakah kau memikirkan ketika peradaban itu muncul seiring dengan datangnya batu-batu itu? Dan apakah kau memikirkan bagaimana pemimpin kami meramu batu-batu itu menjadi sebuah taman yang indah dan mengerikan, seperti tugu yang dibangun tanpa sejarah yang jelas? Tetapi kau hanyalah seorang tukang batu, dan kau tidak akan memikirkan semua itu. sekalipun kau tahu semuanya.

Lahat-Sekayu, Agustus 2007


Catatan:
Ayek : Air
Asase/ Ase-ase : Sebangsa kumbang.
Asekah : Rasakan
Bungin : Pasir/ pantai pasir
Ghepahan kayu : Potongan dan ranting-ranting kayu
Heghunggok : Nongkrong sambil bercerita.
Kayek/ ke ayek ( ke air): Sebutan masyarakat Lahat kalau menuju Sungai Lematang
Kaba : Kau
Penutus batu : Pemecah batu
Nyabun : Menyuci pakaian.
Nineng : Nenek/ buyut/ orang tua moyang
Siring/ Parit : Selokan

6.8.08

Meneguhkan Kembali Karya Sastra

Meneguhkan Kembali Karya Sastra
Jawa Pos, 3 Ogos 2008
Oleh Imam Muhtarom


PERNYATAAN novelis Budi Darma pada Kamis (31/7/2008) dalam rangkaian Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) XII di Bogor, 28 Juli -2 Agustus 2008, layak menjadi renungan dalam perkembangan sastra sekarang ini. Sastra hari ini, menurut Budi Darma, mendapat tantangan yang cukup berat. Tantangan itu bukan karena tidak adanya infrastruktur untuk menopang kelangsungan sastra itu sendiri, melainkan justru ketika infrastruktur tersebut dalam keadaan cukup memadai. Buktinya, sekian penerbit telah muncul dengan segala kelengkapannya agar karya sastra sebanyak mungkin diserap pasar. Pada saat inilah sastra yang sebelumnya serasa diabaikan masyarakat, kini memperoleh kesempatan untuk masuk ke ruang-ruang baca masyarakat. Namun, saat itulah sastra menemui masalah yang justru menurunkan kualitasnya. Sebab, sudah jelas, karya sastra dalam penglihatan penerbit tak lain sebagai produk. Tak ayal karya sastra diperdagangkan di segenap penjuru agar diserap para pembeli, yang dalam hal ini pembaca.

Penerbit tentu memiliki perhitungan ekonomis agar perusahaannya bisa tetap berjalan dan bertahan. Pertimbangan utama penerbit dalam menilai sebuah naskah novel atau kumpulan cerpen, tentu tak bisa menghindarkan dari sejauh mana naskah tersebut laku di pasar (marketable). Laku, sebagai kata kunci penerbit, menjadi dasar operasional penerbit. Di sinilah timbul masalah. Karya sastra yang diterbitkan akhirnya mengikuti selera yang berkembang di pasar (masyarakat). Novel maupun kumpulan cerpen yang beredar tak lain karya sastra yang digemari masyarakat. Penerbit menjaring sebanyak-banyaknya penulis yang bisa memenuhi hasrat pembaca tersebut.

Sementara itu, karya sastra yang benar-benar ''karya sastra'' sulit mendapat tempat di hadapan pembaca. Karya sastra tetap terbit namun selalu dijauhi pembaca. Karena dijauhi pembaca, maka dijauhi pula oleh penerbit. Apa yang ironis dalam perkembangan sastra hari ini, justru dalam kondisi infrastruktur penerbitan buku semakin baik, perkembangan karya sastra yang benar-benar ''karya sastra'' justru mengkhawatirkan. Titik puncaknya, penulis-penulis karya sastra didera kegamangan.

Namun, Budi Darma membesarkan hati para peserta Mastera XII. Dia mengatakan, keadaan demikian tidak perlu disikapi dengan gamang. Sebab, dalam sejarah karya sastra yang benar-benar ''karya sastra'' ditulis sebagai panggilan hidup penulisnya. Penulis karya sastra terdorong untuk menulis, bukan sebab iming-iming material dengan berapa ribu novel dan kumpulan cerpennya terserap pasar. Penulis berkarya dengan tujuan agar karya sastra bermanfaat bagi orang lain.

Pendapat ''menulis sebagai panggilan hidup'' bisa terdengar klise dan kuno. Namun, pendapat itu justru bermakna sangat mendalam di zaman yang segalanya diukur oleh laba dan rugi seperti sekarang ini. Zaman yang telah menyingkirkan segala aspek kedalaman dan makna. Zaman yang penuh intrik politik dan ekonomi. Pada titik inilah spirit sastra dikembalikan pada arti sesungguhnya mengapa karya sastra sebagai ''karya sastra'' harus ditulis dan tetap relevan dibaca. Sebab, karya sastra demikian merefleksikan manusia beserta nasibnya yang tak tentu. Seperti ketidakmenentuan tokoh tua di tengah laut dalam The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Pembaca akan tahu manusia tampak mengharukan bukan mereka berhasil mengatasi masalah tapi justru di dalam kegagalannya.

Spirit yang diteguhkan Budi Darma kepada para peserta Mastera kali ini memberi arah dari diskusi sebelumnya yang banyak mempersoalkan masalah teknis penulisan. Para penulis cerpen yang dipilih dari empat negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam), bisa keluar dari kebuntuan teknis yang menghambat. Dari 20 penulis, 10 dari Indonesia, Malaysia (4), Singapura (2), dan Brunei (4), masing-masing menyerahkan cerpennya untuk dibahas bersama-sama. Kendala teknis ini meliputi bahasa dan terbatasnya waktu untuk mempelajari cerpen-cerpen tersebut. Penulis cerpen dari Indonesia sekalipun paham cerpen penulis Malaysia, Singapura, maupun Brunei, tetap ada kendala dalam menghayati karya-karya lantaran kekhasan yang berlaku dalam bahasa masing-masing. Begitu pula para penulis cerpen dari ketiga negara ketika menghadapi cerpen-cerpen karya peserta dari Indonesia.

Namun, ceramah tentang penulisan yang filosofis dari Danarto dan Putu Wijaya yang dibawakan dalam bentuk monolog mengenai penulisan cerpen cukup memberi inspirasi tentang gagasan penulisan cerpen bukan sekadar kemasyuran atau material. Menulis adalah sebuah panggilan hidup. Bukan yang lain.

Perkembangan Cerpen 4 negara

Hal lain yang menarik dari Mastera XII adalah pemaparan para pemandu mengenai perkembangan penulisan cerpen dari negaranya masing-masing. Joni Ariadinata mengatakan bahwa banyak cerpen di Indonesia hari ini belum menunjukkan kualitas yang diinginkan. Cerpen-cerpen tersebut kebanyakan masih mengalami masalah teknis penulisan dan gagasan. Walaupun di Indonesia cerpen yang ditulis mencapai 181.440 per tahun, menurut Joni, tetap sulit mencari cerpen-cerpen yang bagus. Dengan kalimat lain, kesuburan dalam hal produktivitas cerpen tidak paralel dengan kualitasnya. Menurut dia, ini disebabkan kompromi yang diambil penulis untuk menyesuaikan keinginan penerbit atau media massa yang ingin mendapatkan pembaca yang luas. Ini pula yang dialami Joni yang saat ini menjadi redaktur majalah sastra Horison.

Masalah berbeda diungkapkan Mohammad Ghazali Abdul Rashid dari Malaysia. Sastrawan senior dan dosen di berbagai universitas di Malyasia itu menyatakan adanya perkembangan menarik dengan adanya gaya dan teknik dalam penulisan cerpen di negaranya. Perubahan itu banyak mendapat akomodasi dari majalah-majalah sastra yang tumbuh oleh dukungan pemerintah.

Perubahan dalam bentuk penulisan cerpen juga terjadi di Brunei. Menurut paparan Awang Moh. Zefri Ariff bin Md Zain Ariff, seorang praktisi maupun teoritisi seni di sana, perubahan itu dipengaruhi kondisi sosial sesudah perang. Juga, peran universitas yang aktif dalam mendorong perubahan tersebut. Selain itu, pergeseran nilai lokal oleh pengaruh teknologi dan pengetahuan. Meski demikian, perubahan tersebut tetap dalam koridor tanggung jawab moral sepanjang hayat oleh instruksi kerajaan.

Sementara di Singapura perubahan itu terjadi pada arah orientasi dan tentu ini pula yang menjadi penyebab pergeseran penulisan cerpen. Setelah perpisahan dengan Malaysia, maka penulisan cerpen terbawa ke arah pembentukan nilai-nilai nasionalisme.

Menjadi relevan untuk mencanangkan kembali Mastera dengan agenda yang lebih spesifik dalam program-programnya. Pertama, terdapat kecenderungan yang sama-sama menarik, terutama dari segi jumlah (kuantitas) sekalipun belum begitu menggembirakan dalam kualitas. Justru di sini Mastera bisa mengambil peran agar cerpen-cerpen yang ditulis semakin berkualitas. Tentu ini bukan masalah teknis, tetapi memperhitungkan berbagai aspek dari pergeseran sosial di wilayah setempat, budaya, politik, sosial, sehingga pembicaraan menjadi meluas sekalipun tetap berlandaskan pada teks karya sastra. Sebab, pembicaraan teks tanpa diiringi pembicaraan konteks, tidak terbentuk pemahaman yang komprehensif mengenai teks itu sendiri.

Kedua, cara semacam ini akan mempererat jalinan antarpeserta untuk semakin memahami budaya masing-masing, yang mana akhir-akhir ini muncul peristiwa yang CUKUP mengganggu bagi kelangsungan hubungan di antara tiga negara ini. Tentu, peristiwa di luar sastra. ***

Imam Muhtarom

Peserta Mastera XII - 2008

Merayakan Eksotisme Cerpen ASEAN

Merayakan Eksotisme Cerpen ASEAN
Oleh: Anis K Al-Asyari.

Masihkah cerita pendek (cerpen) memadati ruang pembaca? Ruang mencipta bagi sejumlah cerpenis? Atau ruang yang memikat untuk semacam pengantar diskusi di keseharian kita? Tiga pertanyaan di atas sepertinya tak banyak muncul dalam program penulisan cerpen Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) yang berlangsung tanggal 28 Juli-2 Agustus 2008 di Cisarua Bogor. Yang dominan justru mengenai proses penciptaan karya yang bermetamorfosa, mencari bentuk dan beradaptasi terhadap kebutuhan pembaca, industri buku, media dan kenakalan para cerpenis.

Benturan Budaya dan Kreativitas

Empat Negara anggota Mastera yang hadir antara lain; Brunai Darussalam, Malaysia, Indonesia dan Singapura membawa spirit melayu dengan kebudayaan berbeda seperti sebuah pertemuan yang tidak asing.

Peserta dari Indonesia sendiri diwakili Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Alimuddin (Aceh), Anton Bae (Palembang), Putu Budi EY (Bali) Saifun Salakim (Pontianak), Ragdi F. Daye (Padang), Anis K Al-Asyari (Makassar), Imam Muhtarom (Surabaya), Fina Sato (Bandung) dan Nadhira Khalid (NTB), sepuluh nama tersebut sebagian besar adalah “pengarang muda” (meminjam istilah Putu Wijaya) yang mulai menyemarakkan media lokal, nasional dan pentas buku-buku cerpen yang belakang sangat kompetitif. Dan sebagian besar adalah cerpenis yang telah memenangkan beberapa lomba seperti Wa Ode Wulan Ratna (Pemenang Cerpen terbaik CWI 2005), Imam Muhtarom yang masuk sepuluh besar cerpen terbaik nasional yang diselenggarakan Bali Post 2002, Putu Budi EY cerpennya masuk sepuluh besar cerpen terbaik Indonesia versi Mendiknas 2007 dan beberapa pengarang lainnya yang telah memadati ruang media raksasa seperti kompas, media Indonesia, Horisin dan sebagainya. Ke sepuluh nama pengarang muda dari Indonesia tersebut juga telah menerbitkan sejumlah buku baik kumpulan cerpen, novel maupun puisi.

Wakil dari Malaysia antara lain Nazmi Yaakub adalah seorang cerpenis yang sekaligus sebagai jurnalis sebuah media sastra (Berita Harian Sdn Bhd) di Malaysia, penulis peranakan Tionghoa Tung Wai Chee, Ibnu Ahmad Al-Kurauwi yang telah menerima anugerah penulis terbaik, maupun Noorainie Othman yang dikenal sebagai novelis remaja. Brunei Darussalam mengutus empat pengarang muda; Azmi, Munshi, Efe dan Ima—nama-nama tersebut belakangan memadati tradisi penciptaan cerpen di Brunai. Sementara Singapura diwakili Ishak Latiff (cerpenis terbaik Singapura 2007), Roslie Sidik (karyanya masuk dalam Kota Tanpa Karya bersama pengarang se-ASEAN lainnya).

Selama bengkel penulisan berlangsung ruang diskusi lebih bersifat diskusi lepas dimana pengarang akan saling membaca karya dan melacak kelebihan dan kekurangan masing-masing karya. Peserta yang dibagi ke dalam tiga kelompok akan didampingi oleh para pembimbing seperti; Budi Darma (Novelis dan Kritikus), Oka Rosmini (Cerpenis dan Novelis), Helvy Tiana Rosa (Cerpenis) dan Joni Ariadinata (cerpenis) mewakili pengarang Indonesia. Pembimbing lainnya seperti pengarang produktif Encik Malim Ghazali (Malaysia), Zefrri Arief (Brunei) dan Langkah Seribu (Singapura) juga menjadi pembanding di setiap diskusi yang kritis dan terbuka.

Persoalan proses penggarapan cerita rupanya masih menjadi topik diskusi yang begitu berat dilepaskan. Kadangkala ditemukan sebuah karya yang penyajiannya sederhana tapi lebih mementingkan pesan yang ingin disampaikan. Ada pula sejumlah karya yang sebaliknya, penyajian yang mempesona tapi tidak jelas isi cerita. Kritikus Budi Darma pada akhirnya memetakan tiga karakter cerpen dari semua peserta antara lain: cerpen lokal, cerpen konvensional dan cerpen eksperimentatif. Ketiga varian tersebut sekaligus menandai adanya kehendak dari masing-masing pengarang untuk tidak sekedar mengarang atau mencipta tetapi juga bergerak jauh ke arah yang lebih menantang, fantastis dan melampauhi batas-batas imajinasi maupun bentuk penciptaan yang ada.

Isu lokal sangat kental terlihat dalam beberapa karya pengarang seperti Wa Ode Wulan Ratna lewat cerpennya Batavus yang mencoba kembali ke masa Jakarta 1950-an, Alimuddin dengan safrida Assakariyah yang membawa karakter perempuan Aceh ditengah perang dan konflik berkepanjangan. Alimuddin memunculkan karakter perempuan Aceh yang tegar, berani, sebuah manifestasi kehidupan perempuan yang dihantui kekerasan dan pelecehan seksual serta bayang-bayang kematian. Anton Bae dengan Bongen seolah-olah memperkenalkan kita pada legenda dan kekhasan sungai musi dan sejumlah sungai lainnya di Palembang yang penuh nilai histori. Anton menggali ornamen-ornamen lokal dengan menemukan persoalan sosial seperti kemiskinan yang muncul di ruang-ruang terpencil serta bagaimana spiritualitas masyarakatnya justru sangat kental dengan mentalitas yang kokoh.

Putu Budi EY menulis Bambu di Tebe sangat kental dengan warna lokal tidak saja pada tema cerita tetapi juga pada peletakan bahasa-bahasa lokal yang menyatu dalam struktur teks yang mengalir. Putu tidak saja menjelaskan dirinya sebagai orang Bali asli yang memahami perubahan-perubahan sosioligis yang ada tetapi juga seorang Bali yang gelisah menghadapi gempuran global yang sedemikian pesat. Bambu di Tebe jelas sebuah cerpen yang mengeksplorasi bagaimana mistisisme yang kental beratus-ratus tahun lamanya di Bali tumbang akibat teknologi dan benturan budaya yang masuk di sana. Kisah seorang anak gadis yang meminta ayahnya menebang bambu di belakang rumahnya (tebe) jelas mewakili adanya regenerasi di ruang lokal yang perlahan menghindar dari ruang lokal seperti kasus menanam bambu di belakang rumah yang kemudian hilang ditengah ruang kota yang mendesak.

Begitu pula dengan cerpen Fina Sato berjudul Lawalata yang mengeksplorasi ruang lokal suku Dayak. Cerpen bertemakan lokal tersebut seperti membawa kita pada sebuah keinginan untuk kembali memandang pada sesuatu yang dekat dengan diri. Kebudayaan dalam arti bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi bermetamorfosa cepat ditengah desakan zaman untuk berubah. Tema lokal ini sebenarnya sudah berkembang lima tahun terakhir ini seperti munculnya Oka Rosmini (Tarian Bumi) dan kecenderungan tematik pada kompetisi cerpen yang ada di Indonesia.

Isu lokal mungkin saja mewakili gejala sosial masyarakat yang mulai jenuh dan gelisah terhadap arus global yang menjauh dari nilai-nilai yang pernah ada. Kota yang penuh hirup-pikuk kendaraan dan gedung-gedung bertingkat men-suplai global warming, kriminalitas bahkan korupsi. Kepekaan sosial mulai hilang dan digantikan dengan perilaku individualistik dan serba instan. Dalam situasi tersebut, belakangan ini orang-orang kota sangat banyak yang merindukan desa, merindukan masa lalu dan mendambakan nilai. Cerpen bertema lokal bisa jadi semacam obat bagi mereka yang benar-benar merasa kehilangan spiritualitas nilai dan sejarah.

Penggunaan bahasa lokal dan setting lokal cenderung memaksa pembaca untuk lebih dulu mengenal sejarah dan sosiologis masyarakat. Hal ini tentu saja membebani pembaca yang sama sekali tidak mengenal ruang lokal yang ada dalam cerita. Oka Rosmini sendiri menyadari bahwa persoalan utama yang dihadapi dalam penggarapan isu lokal adalah penggunaan istilah lokal yang mesti dijelaskan melalui catatan kaki. Sesuatu yang tetap saja mengganggu pembaca untuk mengingat sejumlah kata-kata atau istilah bergaris miring. Oka Rosmini menyarankan agar pengarang mendeskripsikan setiap istilah lokal agar tidak menyulitkan pembaca. Cara ini memang bisa efektif dan memudahkan tapi jika istilah lokal dalam jumlah yang sangat banyak, beberapa pengarang berpendapat bahwa hal tersebut justru akan mengganggu penyajian cerita.

Apa pun cara yang dipilih pengarang untuk menghidupkan ruang lokal yang jelas tendensinya adalah menghidupkan wacana lokal sebagai perbandingan budaya akan sangat berharga bagi masa depan per-cerpenan dunia. Pembaca akan menemukan semacam telaah kritis yang lebih blak-blakan tentang diskrimininasi, kemelut sosial maupun sejarah dan nilai pada ruang-ruang lokal dalam cerita yang selama ini tersub-ordinasi.

Entah sampai kapan tema lokal ini bertahan ditengah isu-isu urban maupun tema seksualitas dan kekerasan justru berkembang pesat tanpa mengenal lokal maupun non-lokal. Atau jangan-jangan isu lokal dalam cerpen tersebut mewakili teriakan lokal yang tak berdaya oleh gempuran global dan sebentar lagi tutup usia dan merayakan kekalahan.

Pada sejumlah sesi dalam diskusi yang menghadirkan pengarang dengan latar belakang budaya yang berbeda justru tidak banyak mempersoalkan hal tersebut di atas. Ada kecenderungan kebanyakan pengarang menggarap isu lokal karena ketagihan bermain-main mesra dengan warna lokal yang unik itu. Semoga saja hal tersebut tidak menjamur dan mewarnai isu lokal pada cerpen yang ada. Tetapi sekali lagi membawa aroma lokal pada upaya menghidupkan makna, membuka kesadaran kritis dan tentu saja meluruskan distorsi sejarah yang mungkin ada.

Dari konvensional hingga eksperimen fiksi

Yang tak kalah menariknya adalah masih bertahannya cerpen berbau konvensional baik dalam struktur teksnya msupun pola-pola penyajian permasalahan di dalamnya. Nasi Ambeng karya Ishak Latiff (Sinagapura) memainkan struktur yang sangat formal khas cerpen yang sering kita jumpai sejak lama. Persis sama dengan Sebebas Merpati Putih (Saifun Salakim) yang dari judulnya saja begitu konvensional, teks-teks dalam cerpen ini kelihatan sangat menghindar dari narasi-narasi yang berat dan metafora.
Ragdi F Daye melalui Pemburu Babi memainkan narasi secara terencana antara pembuka cerita, awal konflik dan ending cerita sebagai konflik. Gaya penceritaan semacam ini juga terlihat pada Tanah Sunyi Wangi Kamboja karya Ibnu Ahmad Al-Kurawi, cerpen tersebut menggunakan alur yang sangat datar. Tidak saja dengan penyahian yang demikian ringan tapi penempatan konflik yang sangat konvensional sebagaimana film-film klasik. Karya lain semacam itu adalah Matahari karya Noraini Osman atau Nadhira Khalid dengan Sebuah Ruang Kosong.

Karya-karya konvensional tersebut umumnya memenuhi standar cerpen media popular maupun standar umum cerpen yang ada. Menariknya adalah ketika karya-karya tersebut mencoba mengetengahkan pesan-pesan secara tersurat sebagai kata kunci dari apa yang hendak disampaikan pengarang. Konflik yang sederhana mewarnai cerpen yang digarap secara konvensional—konflik amat tidak menonjol, sesuatu yang mewakili karakter budaya ketimuran seperti istilah Budi Darma.

Hal lain yang patut direnungkan adalah masih bertahannya gaya konvensional ditengah desakan penciptaan yang serba baru. Barangkali bukan persoalan bahwa kebanyakan pengarang tersebut terbatas pada pengalaman menulis demikian, tetapi dengan gaya itu mereka bisa lebih menemukan karya yang khas. Dan terutama kemudahan dalam mengolah imajinasi dan realitas sebagai fakta yang unik dalam teks.

Cerpen konvensional akan tetap mendapat tempat yang monumental sebab pada saat yang sama cerpen eksperimental begitu pesat dan seperti bergerak bebas tanpa batas. Hal itu sangat menonjol pada program penulisan Mastera 2008.

Apa batasan cerpen eksperimental itu? Setidaknya bisa kita lihat dalam hal penyajian dan bagaimana pengarang tersebut memainkan gagasan. Penyajian cerita secara eksperimental sudah pasti melanggar kebiasan-kebiasaan penceritaan dan kadang-kadang mengagetkan pembaca. Banyak kritikus memberi penilaian khusus terhadap cerpen eksperimen sebagai bagian dari kemajuan proses kreatif. Walaupun dalam beberapa sesi diskusi Mastera, Budi Darma kadangkala menyadari beberapa persoalan yang ada baik pada kebablasan yang terjadi pada penyajian maupun realitas-realitas aneh yang kadang muncul tanpa kausalitas yang kokoh.

Beberapa karya yang eksperimentatif pada Mastera 2008 antara lain; Ruslie Sidik Gerimis Duka di Kota Chennai yang memainkan teks-teks yang terpisah satu sama lain. Walaupun sebenarnya berangkat dari kisah cinta sederhana namun penggarapannya sangat berani dan mengebiri struktur alur cerita sebagaimana biasanya. Sementara Munshi lewat Aku seperti menghindari pola-pola formal penggunaan tokoh, Munshi lebih senang memainkan tokoh aku secara spesifik dan bebas tanpa mementingkan peran tokoh yang lain. Cerpen Aku pada akhirnya terlihat seperti bangunan esai yang penuh dengan pesan-pesan secara verbal. Dalam konteks cerpen sebagai karya fiksi, cerpen Munshi tersebut seolah mendobrak keterkungkungan pengarang terhadap pola-pola yang biasa. Lalu menawarkan semacam strategi unik, sekalipun kadang-kadang membingungkan bagi pembaca.

Begitupula dengan Pencuri Hidung karya Anis K Al-Asyari seolah mengembangkan narasi tanpa dialog sehingga pembaca diajak untuk menentukan dialog-dialog cerita pada narasi yang pasif. Ide cerita pada Pencuri Hidung seperti ditemukan begitu saja tanpa konsep awal, ceritanya mengalir dengan bebas lalu kadangkala memusingkan pembaca karena banyak sesi penceritaan yang kadang muncul tanpa pengantar yang spesifik.

Berbeda halnya dengan Imam Muhtarom yang menulis Anak Haram, karyanya seperti bukan karya Imam yang pada cerpen-cerpennya sebelumnya sangat progresif dan penuh metafora dan pergulatan tokoh. Seperti halnya Munshi, Imam juga larut dalam permainan yang otonom seorang tokoh aku yang bergerak bebas tanpa jelas kepada siapa ia bertemu dan bercerita. Anak Haram pun mirip esai yang didalamnya persitiwa tidak berlangsung secara berunut tapi lebih mengutamakan ideology pengarang secara blak-blakan.

Baik narasi eksperimentatif, konvensional maupun yang berbau lokal, cerpen-cerpen para pengarang muda ASEAN menunjukkan adanya pencarian bentuk terus-menerus tanpa melupakan pesan-pesan ideologis yang kental dengan budaya masing-masing. Semua itu menunjukkan adanya perkembangan yang pesat dalam dunia kepenulisan mutakhir di Asia Tenggara terutama cerpen. Kini, pengarang muda tersebut kemudian menyadari betapa pentingnya penciptaan karya berkualitas untuk memadati ruang-ruang sastra yang kompetitif hingga di media massa.

Itulah masa-masa yang paling eksotis per-cerpenan mutakhir yang sepertinya menandai kemungkinan posotif bangkitnya semangat untuk saling berbagi lewat sastra. Dan yang lebih penting adalah memajukan proses penciptaan bersamaan dengan pesatnya minat membaca masyarakat yang semakin hari semakin pening akibat derasnya gelombang teknologi dan kompleksitas persoalan--itulah eksotisme percerpenan yang sesungghnya.

Anis K Al-Asyari, Cerpenis, Delegasi Indonesia pada Program Penulisan Cerpen MASTERA 2008

3.8.08

Kesan dan pesan pertama

BLOG ini dibina sebagai kesinambungan daripada hubungan yang tumbuh lewat tujuh hari di Bengkel Program Penulisan Mastera: Cerpen di Wisma Arga Mulya, Bogor Indonesia.

Seramai 20 pengarang muda dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura melalui proses kepengarangan lewat bengkel yang dikendalikan pembimbing yang sudah pun mencipta nama dalam dunia sastera di Nusantara.

Moga-moga kami, pengarang muda, bukan saja terus berkarya, bahkan memperkukuh hubungan yang sudah pun disemai dengan baik, sekali gus memecahkan tembok perbezaan sempadan politik dan budaya.