19.8.08

Cerita Nineng Tentang Batu

Cerpen Anton Bae

UDARA sembab. Muncrat. Sinar matahari menyerbu mereka yang duduk di pinggir Sungai Lematang sampai gerah berkeringat. Tetapi tetap saja, mereka - laki-laki dan perempuan-perempuan yang berada di pinggir Sungai Lematang itu, terus-menerus mengayunkan tangannya, menghancurkan batu-batu di hadapannya dengan sebuah godam. Bila godam dan batu-batu itu bertabrakan, maka terdengarlah bunyi; Kletak! Kletak! Kletak! Kletak! Dan batu-batu itu pecah, seirama dengan denyut jantung kita. Sementara bunyi yang terkadang serentak dan terkadang kacau balau itu perlahan masuk ke sungai, melompat ke pemukiman penduduk, lalu bucar ke segala arah.

Saat-saat seperti itu selalu diwarnai dengan teriakan anak-anak sungai yang berenang dan berlarian mengelilingi truk-truk yang sedang nongkrong. Kebun-kebun yang sekilas tampak seperti hutan, yang menjadi poros aliran Sungai Lematang, akan memantulkan suara batu yang pecah. Angin pun mengiring enceng gondok dan ghepahan kayu mengikuti arus sungai, seperti seorang gembala yang menggiring kerbau-kerbaunya masuk ke dalam kandang.

Tetapi tetap saja, mereka - para laki-laki dan perempuan-perempuan itu, terus-menerus mengayunkan tangannya, menghancurkan batu-batu di hadapannya dengan sebuah godam. Bila godam dan batu-batu itu bertabrakan, maka berekor-ekor asase akan beterbangan di atas pohon-pohon kelapa, mungkin karena cemas mendengar bunyi yang menggema. Ada pula sebagian dari asase itu yang melompat ke bungin, dan sebagian lagi melompat ke siring yang penuh dengan kotoran biri-biri.

Aku duduk jongkok di depan Pak Mustarif, tukang batu yang bertubuh kerempeng itu. Dia masih sibuk dengan pekerjaanya. Sesekali kulihat tangannya yang kekar melempar butiran batu yang sudah pecah ke sebuah tumpukan batu. Batu yang bertumpuk itu tersusun berkubik-kubik, sesuai ukuran dan jenisnya. Di sini, pemecah batu sudah menjadi salah satu mata pencaharian penduduk. Tukang bangunan percaya bahwa batu yang telah dipecahkan lebih kuat untuk membuat sebuah bangunan.

Kletak! Kletak! Kletak! Kletak!

"Ada yang mengatakan bahwa batu dan koral-koral di sini seperti mahluk hidup yang dapat beranak." Pak Mustarif memandangku. Sepertinya, sedari tadi dia ingin sekali mengeluarkan kata-kata itu.

"Maksud bapak?"

Dia tiba-tiba tertawa. Wajahnya yang bulat seperti roda truk itu, melompat-lompat bersama tawanya. "Cukala kaba (cobalah kau) menyelam ke sungai itu dan mengambil batu di dalamnya. Kele kaba asekah (nanti kau rasakan), ketika kaba ambil batu itu, akan ada batu lagi yang tersembunyi di balik batu sebelumnya. Dan bila kaba mengambil batu yang tersembunyi itu, maka ada lagi batu di baliknya. Seperti itulah keadaannya terus-menerus."

Aku meremas kopi di tanganku yang dibungkus plastik hitam. "Mungkin Bapak benar, tapi aku tidak heran. Sebab tempat ini memang nyaman untuk tempat tinggal para batu. Ya, karena di sini ada Bukit Barisan, Sungai Lematang, Gunung Telunjuk dan hutan-hutan yang membentuknya."

Pak Mustarif kembali memukul batu di hadapannya. "Bagaimana dengan negeri kaba?" Aku tersentak. "Apakah batu-batu di negeri kaba sama seperti batu-batu di negeri kami?"
"Untuk apa Bapak menanyakan itu?"

Batu yang ia pukul sempat memercikkan api. "Cuma ingin tahu, apa yang membedakan batu kalian dan batu di negeri kami."

Aku menghirup udara, sambil sesekali memperhatikan jembatan gantung yang tidak begitu jauh dari tempat kami berada. Beberapa truk yang mengangkat batu-batu itu sempat menghalangi tiga orang perempuan di pinggir jalan yang akan nyabun ke tepi sungai.

"Negeri yang berkembang dan maju menganggap batu sama seperti agama. Seperti juga negeri kami, Pak. Setiap hari semua orang disibukkan dengan urusan yang ujung-ujungnya berakhir pada batu. Mereka mengumpulkannya, mencarinya, meramunya karena batu-batu itu bukan hanya sebagai bahan bangunan yang dapat membentuk sebuah bangunan, tetapi juga merupakan simbol peradaban. Peradaban yang besar adalah peradaban yang bisa meramu batu-batu."

"Kalian terlalu berlebihan!" Pak Mustarif kembali melemparkan batu yang telah ia pecahkan. "Batu tetaplah batu. Apapun jadinya, batu hanya alat pemuas manusia."

"Mungkin saja Bapak benar. Tetapi kami menganggap batu adalah benda yang memiliki nilai. Oleh karena itu negeri kami banyak terdapat bangunan-bangunan yang tinggi menjulang dengan beragam bentuk. Sebab itulah kenapa negeri kami kaya dengan perhiasan-perhiasan dari batu. Dan aku heran, kenapa negeri Bapak yang melahirkan banyak batu, malah batu terkesan seperti simbol kemiskinan."

"Jangan kaba kira ketika aku mengatakan bahwa batu adalah alat pemuas, langsung kaba katakan kami menganggap batu tidak memiliki nilai. Kaba kira untuk apa aku bekerja sebagai penutus batu? Aku lebih menghargai batu daripada kalian yang mengganggap batu adalah simbol peradaban, atau mungkin simbol kekayaan. Dan kaba perlu tahu, Tuhanlah yang memberikan kemiskinan dan keindahan itu, dan Tuhan pula yang lebih baik menilainya."
Kami saling berpandangan. Nafasku sempat berdegup ketika mendengar ucapan lelaki tua yang bertangan kekar itu.

"Aku tidak bermaksud untuk menyinggung Bapak dan negeri Bapak. Hanya saja aku heran, negeri Bapak yang peradabannya lebih tua dan memiliki fakta sejarah yang jelas, malah kelihatan terbelakang."

Pak Mustarif menggelengkan lehernya seakan menahan kesal. "Kaba masih terlalu muda untuk menjelaskan tentang peradaban dan nilai-nilai. Lebih baik kaba sering berada di atas dam itu, dan merenungkan kenapa sungai dan batu-batu itu semakin dalam!"

Pak Mustarif berjalan menjauhiku. Dia mendekati truk-truk kuning yang tidak begitu jauh dari hadapan kami. Bajunya masih tertinggal di pondok di sampingku. Kulihat tubuhnya yang hitam legam, yang sering ditimpa matahari itu, seakan menutupi ciri khas negerinya yang rata-rata berkulit putih.

Terus saja dia berjalan dan mendekati salah seorang lelaki yang sedang beghunggok di bawah pohon. Dia menunjuk tumpukan batu yang berada di sampingku dengan tangannya yang memegang godam. Dia sedang bertransaksi. Lelaki yang diajaknya bicara adalah seorang toke. Aku mengenalnya. Dia sering berjalan dari negeri satu ke negeri lainnya. Bila dia dan anak buahnya datang ke negeri kami, mereka selalu menitipkan berkubik-kubik koral dan pasir di toko-toko bangunan. Terkadang anak buahnya juga sering menawarkan beberapa perhiasan batu; seperti batu satam dari Bangka-Belitung, blue sapir dari Baturaja, batu hijau dari Kalimantan, dan beberapa jenis batu di negeri ini, seperti batu mata kucing, kecubung, kembang bungur dan sulaiman. Banyak seniman-seniman yang menyulap batu-batu itu menjadi sebuah cincin, kalung, atau perhiasan, seperti halnya di Pasar Cinde Palembang. Dan ada juga yang menganggap setiap batu memiliki kekuatan alam, atau barangkali kekuatan supranatural.

Biasanya, bila bercerita tentang batu yang dijual Pak Mustarif, tergantung dari besar kecilnya batu atau koral. Koral yang dikumpulkan dan batu-batu yang telah dipecahkan dengan ukuran yang lebih kecil, akan lebih mahal dijual dibanding batu-batu yang lebih besar. Tingkat kerumitan mengumpulkan dan memecahkannya itulah yang menyebabkan batu yang ukuran lebih kecil akan lebih mahal. Harga batu-batu itu sekitar tujuh puluh ribu rupiah per kubik. Sementara batu yang lebih besar, harganya sekitar lima puluh ribu rupiah per kubik. Biasanya mereka, para toke-toke batu memborong belasan kubik dalam satu hari. Sementara Pak Mustarif sanggup mengumpulkan koral dan memecahkan batu-batu itu sekitar 2 sampai 3 kubik dalam satu minggu. Tetapi itu hanya Pak Mustarif. Dia sudah terlalu tua untuk melakukan pekerjaan yang keras itu. Kalau tidak dibantu oleh teman, istri, dan anak-anaknya, mungkin satu kubik pun dia tidak sanggup.

Ya, sebenarnya penjelasan itu pernah diceritakan Pak Mustarif kepadaku beberapa bulan yang lewat. Aku hanya mengutipnya. Sebagai salah satu orang yang cukup tua di dusun ini, dia termasuk orang yang terbuka dan suka bercerita. Aku suka mendengarnya bercerita. Pak Mustarif juga tertarik kepadaku, mungkin karena aku pendatang baru, maksudnya baru enam bulan, dia jadi tertarik untuk bertukar cerita dan pengalaman. Cukup menarik bagiku, seorang pendatang yang tinggal karena kebutuhan keluarga, menjadi Pegawai Negeri Sipil, dilempar ke negeri yang jauh dari tempat dilahirkan, dan bertemu dengan seorang tukang batu.

Memang, ada kalanya aku berpikir, jika ke negeri ini, ada banyak sifat dan pemikiran yang unik. Walaupun begitu, mereka memegang teguh sebuah tradisi dan kekeluargaan. Mereka seringkali menganggap orang satu kampung atau satu daerah adalah keluarga mereka, dan mereka tidak segan-segan mengatakan itu pada semua orang. Bila dikaji, mereka memang begitu dekat. Sampai-sampai mereka tidak ingin pergi jauh dari kedekatan itu, kecuali kepergian itu adalah untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.

Berbeda dengan negeri kami yang selalu mengagungkan sebuah peradaban. Kami selalu mengganggap bahwa sebuah keluarga harus pergi dan merantau ke mana-mana. Kami harus mencari jatidiri kami dengan menempuh perjalanan yang jauh. Itu yang membuatku terkadang berpikir, kenapa batu-batu yang ada di negeri kami, memiliki jarak yang jauh. Mereka tidak berdekatan atau bertumpuk-tumpuk seperti batu yang ada di negeri ini.

Aku tersentak. Mataku melesat mencari Pak Mustarif. Dia masih sibuk menawarkan batu yang telah ia pecahkan dengan toke koral tadi. Aku tidak mungkin akan mengganggu. Tetapi ada sesuatu yang kuingat. Dengan cepat aku berjalan ke dekat sungai. Mengikuti apa yang telah dikatakan Pak Mustarif sebelumnya, yaitu memandangi sungai dan batu-batu itu. Aku yakin, sifat keras kepala Pak Mustarif dan pemikirannya yang terkadang melompat-lompat itu selalu saja memberikan arti penting buatku.

Kopi yang diberikan istri Pak Mustarif masih kupegang. Kulihat sungai yang deras itu mengalir, menghempas butiran batu kali yang muncul di dalam sana. Tampak beberapa orang perempuan yang sedang nyabun sibuk bercerita di pinggir sungai.

Pak Mustarif menyentuh pundakku tiba-tiba. Aku menoleh. "Sedang memikirkan apa?" katanya tersenyum seolah transaksinya dengan toke koral tadi telah berhasil memuaskan hatinya.
"Melihat batu-batu itu aku berpikir tentang Tuhan."
"Hablumminallah?"
"Hablumminannas."

Pak Mustarif tertawa. Gigi dan cara dia tertawa lagi-lagi membuat aku tertarik. Mungkin karena giginya yang ompong bercampur dengan wajahnya yang bulat.

"Sepertinya kaba dilahirkan di negeri yang kaku, yang tidak bisa berkata lebih lantang seperti negeri kami." Dia masih melanjutkan tawanya.

Aku tersenyum. "Mungkin sungai itu yang membuatku kita berbeda kultur dan cara mengungkapkan bahasa."

Pak Mustarif menganggukkan kepala. "Mungkin." Kami sama-sama memandangi seorang lelaki yang sedang berjalan di dekat kami. Lelaki itu menyusuri batu-batu. Setelah itu dia duduk jongkok di atas batu kali di pinggir sungai sambil menutupi tubuhnya dengan kain sarung.

Tawa meledak. Kami berdua menyingkir ke sebelah kiri, menjauhi lelaki yang akan membuang kotorannya itu. Sekejap kotoran itu mengapung, mengalir mengikuti arus sungai, menuju ke dataran rendah.

"Sudah seribu tahun lebih, atau sezaman dengan Kerajaan Besemah, penutus batu menjadi mata pencaharian penduduk di negeri ini," Pak Mustarif berkata datar. Aku cukup terkejut mendengar penjelasannya yang tiba-tiba itu. Tetapi aku masih mendengarnya.

"Ninengku sering menjelaskan dalam bentuk guritan, sastra lama yang ada di negeri ini yang sempat dibakar pada masa Orde Baru dulu. Dimana dongeng dan sejenis cerita rakyat lainnya, seringkali dijadikan momok menjijikan para birokrasi. Aku ingat, nineng pernah bercerita tentang batu-batu yang ada pada masa Besemah dan Sriwijaya. Pada masa itu, batu berfungsi untuk membuat bangunan kerajaan dan simbol-simbol dewa dalam kepercayaan animisme-dinamisme. Kemudian dilanjutkan dengan agama Budha yang muncul di negeri ini yang disebarkan oleh bangsa Cina dan Kerajaan Sriwijaya, dimana saat itu Sriwijaya menjadi pusat pendidikkan agama Budha, dimana para pemuka Besemah sempat mempermasalahkan agama baru yang merusak kepercayaan nenek moyang kami. Ketika itu, tukang-tukang batu memiliki martabat yang cukup disegani, sama seperti halnya di Cina, India dan negeri-negeri di Timur Tengah. Ketika Kerajaan Sriwijaya musnah, ratusan tukang batu diutus untuk membangun kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Jawa. Setelah itu mereka kembali lagi. ‘…Oooemmm, jauh benang kite beghusek ke negeri jeme…. Kemane ayek kite? Tanjung Serai, Bukit Abung, Bangkaulu, Bukit Siguntang. Oooemmm, batu kite bejuhu bak hujan tebalik. Hujan tebalik batu kite…,’ nineng pernah mengumandangkan mantera itu di depanku. Mantera tentang kepergian para penutus batu."

"Seiring dengan zaman, pemecah batu beralih menjadi profesi yang penting tetapi menyulikan. Belanda datang. Kekuasaan feodalisme membutuhkan banyak tukang batu untuk membangun benteng, gereja, jembatan, dan bangunan-bangunan informasi dan pertahanan penting lainnya. Karena kekurangan tukang batu, banyak dari rakyat jelata yang dipaksakan untuk menjadi tukang batu, yang mana pada akhirnya tukang batu itu disebut kuli atau pekerja paksa. Beberapa sastrawan memunculkan guritan dan syair-syair tentang batu."

Pak Mustarif merenung sejenak. Kerutan-kerutan di keningnya seakan menyimpan semua cerita-cerita itu. selang beberapa detik, dia tiba-tiba melihat wajahku.

"Kaba tahu, alasan apa yang menyebabkan aku menjadi penutus batu?"

Aku menoleh, menatap wajahnya. "Mungkin karena alasan tadi. Melakukan sesuatu seperti yang dilakukan nenek moyang Bapak."

Dia sempat tertawa. "Tidak, aku tidak pernah berpikir panjang seperti itu. Bagiku, setiap kali aku menutus batu-batu itu, aku bisa bercerita tentang apapun, berimajinasi, dan memecahkan semua kekesalan. Menutus batu itu seolah mengajak kita masuk ke ruang mimpi, di mana setiap mimpi aku bisa melakukan apa saja.."

Pak Mustarif berhenti bicara. Dia melihat langit senja sudah mulai pudar. Orang-orang mulai pergi menjauhi Sungai Lematang yang berair keruh itu.

"Tadi aku sempat berpikir, Pak, ketika Bapak menyuruhku untuk melihat sungai dan batu-batu itu."
"Apa yang kaba pikirkan?"

"Bagiku, sungai adalah kehidupan. Batu adalah pengisi kehidupan. Sementara manusia adalah mahluk yang diciptakan untuk merasakan kedua-duanya. Barangkali, ketika Tuhan telah menipiskan batu dan aliran sungai itu, seperti itu juga manusia harus merasakan kenikmatannya semakin menipis."

Pak Mustarif tiba-tiba tertawa. Tawanya meledak. Tawa seorang tukang batu.

"Aku bingung, kenapa kaba selalu berbicara tentang kenikmatan? Seolah kenikmatan itu tidak pernah kaba rasakan!"

Aku berdetak. Kedua mataku lagi-lagi melayang mendengar ucapan Pak Mustarif. Tetapi ini berbeda. Aku tidak melihat lagi kehampaan dalam pikiranku. Tetapi, yang kulihat adalah air besar yang menggenangi jalan dan pertokoan di negeri kami. Orang-orang berlarian, menaikki kendaraan, dan ada pula yang berebutan mendaki sebuah bangunan. Lampu padam. Pohon-pohon terhempas, lalu mengalir mengikuti arus air dan terjepit di sela-sela rumah dan tiang listrik.

Hilang. Pemandangan itu berubah. Kudengar seorang bayi menangis di sebuah tenda. Beberapa ekor lalat berkeliaran tepat di atas kaki seorang lelaki. Asap membumbung ke udara, dan api membakar potongan-potongan kayu di tungku penanak nasi.

Hilang. Cahaya lampu melesat dari atas gedung. Buruh-buruh bangunan sibuk membuat jembatan layang di tengah kota. Mesin-mesin berat berderit.

Hilang. Orang-orang mengangkat spanduk. "Kenapa mesti ada pengusuran di kampung ini?"

Hilang. "Kenapa tidak tinggal di sini?"

"Terlalu berat bagiku. Makan dan tempat tinggal semakin hari semakin mahal.

Hilang. "Bila di sana, kita bisa membuat usaha bangunan. Dan kita bisa menjualnya."
"Tapi, kenapa kau mesti melamar PNS?"

"Membuat usaha itu aku teringat berita tadi malam. Tentang banjir di negeri kita."

Hilang. Pemandangan berubah. Aku melihat sesuatu yang bergerak. Entah, siapa. Seseorang memukul pundakku. Semua ingatan-ingatan itu berhamburan bagai kembang api yang diledakkan di atas langit, yang tersisa hanyalah kekosongan.

Orang yang memukul pundakku itu Pak Mustarif. Dia melihatku. Sesekali matanya memandangi sungai. Bunyi batu-batu pecah sudah hilang, tinggal air sungai yang mengalir menghempas butiran batu dan enceng gondong di dekatnya.

"Mari kita pulang," Pak Mustarif berkata datar.

Aku mengangkat kepala dan tubuhku. Kemudian kutatap lelaki tua yang berdiri di hadapanku dengan penuh tanda tanya.

Apakah kau memikirkan ketika peradaban itu muncul seiring dengan datangnya batu-batu itu? Dan apakah kau memikirkan bagaimana pemimpin kami meramu batu-batu itu menjadi sebuah taman yang indah dan mengerikan, seperti tugu yang dibangun tanpa sejarah yang jelas? Tetapi kau hanyalah seorang tukang batu, dan kau tidak akan memikirkan semua itu. sekalipun kau tahu semuanya.

Lahat-Sekayu, Agustus 2007


Catatan:
Ayek : Air
Asase/ Ase-ase : Sebangsa kumbang.
Asekah : Rasakan
Bungin : Pasir/ pantai pasir
Ghepahan kayu : Potongan dan ranting-ranting kayu
Heghunggok : Nongkrong sambil bercerita.
Kayek/ ke ayek ( ke air): Sebutan masyarakat Lahat kalau menuju Sungai Lematang
Kaba : Kau
Penutus batu : Pemecah batu
Nyabun : Menyuci pakaian.
Nineng : Nenek/ buyut/ orang tua moyang
Siring/ Parit : Selokan

0 pesan: